Slogan "Kumpul Ora Campur" Untuk Para Pemimpin

Seperti perkumpulan binatang yang dari segi kemampuan, tindakan, kebiasaan, dll. tentu berbeda-beda. Kera yang dengan lincahnya mampu memanjat pepohonan, Burung yang dengan sayapnya mampu terbang di ketinggian, dll.

Mereka mempunyai potensi-potensinya sendiri, dan tentu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, mereka menggunakan caranya sendiri. Tidak mungkin untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya caranya di"sama"kan. Semisal Burung yang menginginkan dirinya berada di pohon. Apakah Burung itu akan mampu berada di pohon, apabila ia menggunakan caranya kera—yang dengan kemampuan lincah kaki dan tangannya mampu memanjat pohon? Tentu tidak. Sebaliknya, Kera tidak mungkin berada di pohon, apabila kera tersebut menggunakan caranya burung.

Agaknya tepat, kata "Kumpul Ora Campur" yang digunakan slogan "Santri Al-Maroniyah" (Santri PP. Miftachussa'adah–Maron) dapat merepresentasikan analogi di atas. Kumpul yang berarti tiap-tiap individu hidup berdampingan dengan segala potensinya masing-masing, dan dapat dibedakan—baik dalam segi pikiran, tindakan, kebiasaan, dll.

Kata Campur berarti sebaliknya, tiap-tiap individu yang sangat sulit dibedakan. Dengan kata lain mereka "sama". Apabila semua binatang dengan segala pikiran, tindakan, kebiasaan, cara mencapai sesuatu, dll. di "sama"kan, apakah mereka semua akan baik-baik saja? Tentu tidak, yang takut akan bosan hidup dan pasrah, yang berani akan memberontak. Tentu keadaan mereka sedang tidak baik-baik saja.

Oleh karena itu, tiap-tiap individu pasti mempunyai segala potensinya masing-masing, dan untuk mencapai suatu hal yang ia inginkan, tentu cara yang digunakannya berbeda. "Banyak jalan menuju Roma".

Sekali lagi, agaknya tepat slogan "Kumpul Ora Campur" digunakan pedoman—minimal bahan refleksi—untuk para pemimpin sekarang.

Sering, pemimpin memaksakan kehendaknya sendiri kepada para anggotanya, dan menancapkan aturan-aturan yang ia ciptakan sendiri agar semua anggota menaatinya. Segala kehendak dan aturan-aturannya, hukumnya wajib untuk ditaati. Ia meng-klaim bahwa segala keputusannya selalu baik dan benar, maka harus ditaati. Intinya, "Demi segala yang baik, halal lah semua cara, sampai yang paling tidak baik." Sungguh sangat Naif!.

Ketika pemimpin itu dihadapkan dengan segala permasalahan anggotanya, kadang, ia terlalu terbelenggu dengan masalah yang diterpanya, bukan malah memikirkan cara apa yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi masalahnya.

Biasanya, hal ini kerap terjadi oleh pemimpin yang dulunya terlalu ambisius untuk mencapai gelar "Pemimpin" nya. Akhirnya, ketika "donge" menjadi pemimpin malah "loyo", karena tenaga dan pikirannya ia habiskan sewaktu masih akan menjadi pemimpin. Ambisius yang dipaparkan di sini ialah ambisi yang tidak sehat, ambisi yang mengerahkan segala kekuatan dengan "serampangan" yang bertujuan untuk membuktikan kehebatan dirinya.

Ya, mungkin kali ini anggapan Plato (filsuf Yunani Kuno) benar, bahwa "Suatu perkumpulan yang ideal, mesti dipimpin oleh seorang filsuf." Minimal ia mampu untuk berpikir dan terus belajar, lebih-lebih ia mampu menghasilkan keputusan yang bijaksana. Semua kemampuan itu bersumber pada kerja Akal yang baik dan benar.

Menurut Imam Al-Ghazali, memang yang menentukan tindakan kita adalah hati (qalb), tetapi Akal (aql) lah yang mempunyai power atau kekuatan yang sangat kuat. Oleh karena itu, kembangkan dan perbarui lah sistem kerja akal (cara berpikir) mu. Karena, dengan adanya perkembangan dan pembaharuan lah, sesuatu akan hidup. Tiap-tiap yang hidup tidak terlepas dari pembaharuan.

Wallahu A'lam.....

Komentar