Pendidikan Biro Jasa (Sudut Pandang Tokoh Pesantren)


Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain. Hal inilah yang melatar belakangi terbentuknya suatu masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama, saling membutuhkan satu sama lain, dan bisa menghasilkan suatu kebudayaan. Dengan demikian, tidak ada masyarakat yang tidak menghasilkan kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat.

Dengan hadirnya masyarakat maka kebudayaan dapat dihasilkan, dan kebudayaan itu menentukan corak kehidupan di masyarakat. Jadi keterkaitan antara masyarakat dengan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan masyarakat dengan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat.

Budaya yang dihasilkan oleh masyarakat yang sudah turun temurun sejak dulu akan melekat di hati masyarakat dan akan terkonsep di kehidupan masyarakat. Sehingga menjadi sebuah kepercayaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sebuah keyakinan yang sulit untuk dihilangkan.

Pesantren, kerap diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya (KBBI, 2005: 866). Dalam komunitas pesantren ada santri, ada kiai, ada tradisi pengajian serta tradisi lainnya, ada pula bangunan yang dijadikan para santri untuk melaksanakan semua kegiatan selama 24 jam. Saat tidur pun para santri menghabiskan waktunya di asrama pesantren.

Banyak nilai-nilai yang dari dulu sampai sekarang masih sangat dipegang teguh. Seperti, sarungan, songkok-an, ngopi, ngaji, ngabdi, dan sowan. Saya akan membahas tamsil yang terakhir ini (sowan). Kalau di dalam Ponpes yang umumnya besar—biasanya tolak ukurnya dengan banyaknya Santri, tradisi sowan ke Kiai itu bisa dibilang jarang, bahkan sampai 'salaman' pun juga jarang. Berbeda dengan Ponpes yang kecil, tradisi sowan ke Kiai masih sangat sering dilakukan, apalagi hanya sekedar salaman, bisa dibilang hampir setiap hari. Bahkan, segala macam permasalahan Santri, dari yang enteng hingga yang beratnya alang kepalang, disowankan kepada Kiai. Memang sudah sangat wajar, kalau dalam pondok saya, tradisi seperti itu masih tetap dilakukan. Seperti ungkapan Kiai saya "Santri itu ibarat anak, dan Kiai adalah orang tuanya. Jadi orang tua memang sudah seharusnya mengerti segala permasalahan anaknya" (Kiai. Mujiburrahman).

Pada saat seminggu yang lalu, saya berkesempatan sowan kepada Kiai untuk izin pulang. Sowan izin pulang biasanya memang tidak terlalu lama, mungkin hanya sekitar dua atau tiga menit. Begitupun sowan izin datang. Waktu sowannya tidak terlalu lama. Tetapi kali ini, ketika saya sowan izin datang, waktu sowan yang biasanya, menjadi berlipat ganda, bisa dibilang sekitar satu jam-an. Tentu banyak berbagai pembahasan yang kami bicarakan. Dimulai dari menanyakan kabar, kondisi di rumah, hingga—yang paling ditakutkan oleh alumni yang mahasiswa—ihwal perkuliahan. Dari awal hingga pertengahan saya kuliah, baru kali ini beliau menanyakan ihwal perkuliahan. Tentu pembahasan inilah yang membuat saya 'nderedeg'. Yah, ke'nderedeg-an' muncul karena belum menguasai ihwal perkuliahan itu. Tapi, untungnya beliau hanya sekedar menanyakan hal yang menurut saya ringan-ringan atau dasariah saja. Memang itulah salah satu ciri khas Kiai. Mujiburrahman, beliau sangat menekankan hal-hal yang dasariah. Karena terkadang, kita terlalu 'ngoyo' membahas hal-hal yang melangit, tetapi lupa dengan hal-hal yang membumi.

Waba'du, pembahasan yang selalu saya ingat-ingat betul adalah pembahasan tentang pendidikan. Kurang lebih beliau mengatakan bahwa "Kebanyakan orang-orang saat ini memandang suatu instansi Pendidikan seperti layaknya Biro Jasa. Pendidikan dianggap hanya menerima orang yang berkemauan, tapi tidak dengan mencetak kemampuan." Ia berkemaun hanya untuk sekedar mendapatkan satu lembar kertas kelulusan yang bernama "ijazah". Tanpa berkeinginan untuk menggali seluruh potensi-potensinya. Yah, seperti halnya biro jasa. Ketika konsumen berkemauan untuk mencetak STNK, misalnya; konsumen hanya sekedar memenuhi persyaratan, membayar, menunggu tidak terlalu lama, dan jadi. Demikian pula dengan pendidikan. Ketika Siswa berkemauan hanya untuk mencetak kertas kelulusan, "Ijazah". Siswa hanya sekedar memenuhi persyaratan pendaftaran, lalu masuk, membayar, dan menunggu Ijazah-nya jadi. Lembaga Pendidikan, khususnya Pesantren, dianggap hanya sebagai tempat pelayanan, yang menyediakan seluruh apa yang ia mau. Tidur dilayani, makan dilayani, mandi dilayani, dan lain sebagainya. Lantas apa bedanya antara di lembaga dan di rumah, kalau hanya sebagai sarana pelayanan?

Begitupun juga orang-orang yang berhubungan erat dengan para siswa, seperti: orang tua, kakek, nenek, saudara, dll. Terkadang mereka hanya sekedar menitipkan anaknya di suatu lembaga pendidikan, tanpa berniat berkontribusi juga dalam hal mendidik anaknya. Seperti layaknya orang yang akan menjahitkan pakaian, ia hanya sekedar memasrahkan kepada tukang jahitnya, menunggu jadi, lalu membayarnya, dan menikmati hasilnya. Demikian pula, dengan ihwal mendidik, orang tua hanya sekedar memasrahkan kepada gurunya, membayar, dan menikmati hasilnya. Padahal, bila berbicara tentang pendidikan, semuanya orang yang berada di sekitarnya juga turut andil untuk mendidik. Bukan melulu hanya sekedar guru saja yang punya tugas untuk mendidik.

Kiranya hanya itu pemahaman yang dapat saya tangkap dalam ucapan Kiai. Mujiburrahman. Akhir kata, hendaknya kita senantiasa semangat dan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sebab dengan ilmu kita akan memperoleh cahaya yang akan menyinari kita, di saat keadaan kita sedang gelap.

Wallahu A’lam.

Komentar